Memasuki separuh perjalanan dibulan Februari, tepat pada tanggal
11, ada kehangatan berbeda yang terasa di Pendopo utama Rumah Maiyah
Kadipiro yang terletak di jalan Wates Gang Barokah, Bantul, Yogyakarta.
Sore hari, di ruangan terbuka yang cukup luas itu sudah nampak
tikar-tikar yang tergelar rapi, deretan meja-meja kecil yang tertata,
peralatan soundsystem yang tegak dibeberapa sudut, layar televisi yang stand by, juga
halaman depan yang bersih dan terkondisikan. Ditemani langit senja yang
permai, tak ketinggalan tampak beberapa penggiat rumah Maiyah yang
berseliweran, berbenah, dan menyiapkan diri menyambut “tamu”.
Malam itu, Perpustakaan EAN bersama aktivis Rumah Maiyah, kembali menyelenggarakan diskusi buku rutin Sewelasan edisi
#6, kali ini membedah dan mendiskusikan buku yang sudah cukup populer,
kontroversial, dan mendapat sambutan luas dari khalayak: “Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman”
karya KH. Fahmi Basya. Antusiasme masyarakat, terutama kalangan
muda-mudi terhadap tema diskusi, terasa spesial malam itu. Selepas adzan
Maghrib, satu persatu hadirin diskusi buku memasuki gerbang rumah
Maiyah dan menempatkan diri di gelaran tikar. Setelah Isya’ jamaah
diskusi terlihat mulai memenuhi pendopo, panitia memutarkan DVD
“Borobudur”, sebagai ‘hidangan pembuka’ pra-diskusi. Selain penulis buku KH. Fahmi Basya, perpustakaan EAN,
malam itu juga menghadirkan Sabrang Mowo Damar Panuluh, fisikawan dan
matematikawan muda lulusan Alberta University, Canada, yang publik tanah
air lebih mengenalnya sebagai Noe, vokalis Letto Band. Jalannya diskusi malam itu dimoderatori langsung oleh Ibu Nadlrotussariroh, kepala perpustakaan EAN Kadipiro.
Teori “Blawur-itas” Kebenaran
Pukul delapan malam, kedua pembicara dan moderator sudah siap di
tengah hadirin. Diskusi dibuka oleh Ibu Nadlrotussariroh dengan
memberikan kilasan singkat mengenai forum diskusi buku Sewelasan Perpustakaan EAN yang sudah bergulir
enam edisi dengan berbagai tema dan buku. Sekedar berbagi informasi,
beliau menyampaikan bahwa edisi bulan lalu, buku yang didiskusikan adalah Sekolah Biasa Saja karya
Toto Rahardjo. Selanjutnya, beliau menunjuk mas Sabrang MDP sebagai
pembicara pertama untuk memberikan pengantar diskusi, sekaligus
mengemukakan ulasan-ulasannya mengenai buku Borobudur Peninggalan Nabi
Sulaiman. Diskusi Buku Sewelasan #6
Sabrang menyampaikan ucapan terima kasih pada pak Fahmi Basya karena
karyanya ini merupakan pioner yang mau menembus area yang belum
terbayangkan oleh siapapun. Dalam forum diskusi malam itu, Sabrang
menegaskan bahwa yang utama dicari bukan melulu benar salah, karena
“konstruksi benar-salah” juga persoalan sendiri yang masih perlu kita
bicarakan. Buku karya Pak Fahmi ini lebih bijak dan arif apabila semua
hadirin diskusi melihatnya sebagai ijtihad untuk mencari sebuah
kebenaran. Lebih dalam lagi, Sabrang MDP memberikan pengantar diskusi
dengan memberi penjelasan elegan mengenai kebenaran dari sebuah
“kebenaran”. Dengan lincahnya pencipta lagu Sebelum Cahaya itu
mengurai dan mengorganisir cara berfikir hadirin diskusi agar mempunyai
titik pandang yang tepat, serta sikap yang proporsional terhadap tema
buku yang sedang dan akan didiskusikan bersama. Sabrang menguraikan
teori “Blawuritas Kebenaran” dengan menggunakan analogi lensa fokus kamera.
Mengenai “konstruksi-benar-salah ia mengurai: Bahwa segala
sesuatu tidak bisa hanya diringkus dalam dua kotak benar atau salah.
Realitas tidak sesederhana itu, kenyataan tidak hitam putih. Sabrang
menggunakan contoh lensa fokus sebuah kamera. Ketika kita memotret bunga
kalau lensanya tidak fokus, nanti bisa kita lihat hasilnya blawur. Tapi
hasil yang blawur itu benar atau salah? Kan hasilnya tetap
benar bahwa itu “bunga” meskipun blawur. Blawurnya sesuatu itu tidak
mempengaruhi dan mengurangi kebenaran. Tergantung informasi yang masuk
dan pemahaman kita blawur atau tidak. Karena aslinya banyak hal di dunia
ini aslinya masih berposisi blawur, bahkan pun
ilmu-ilmu pengetahuan resmi yang ada. Dalam ilmu matematika, kimia,
fisika, biologi, sosiologi apalagi ilmu sosial-antropologi dan ilmu
sejarah mempunyai tingkat keblawuran yang berbeda.
“Khusus matematika dia sangat-sangat jelas karena semua yang
dibangun adalah berdasarkan logika kebenaran yang disusun dari yang
paling kecil/paling simple. Contoh: 4×4 adalah jelas 16, karena kita
tahu bahwa terbukti 4+4+4+4=16. Jadi jelas bahwa matematika
perkembangannya berdasarkan kebenaran-kebenaran kecil untuk membuktikan
kebenaran yang lebih besar. Sedikit agak mem-blawur pada fisika karena
ia menggunakan alat logika kebenaran matematika untuk mencoba
menjelaskan konstruksi alam semesta. Sebab itulah terjadi “rumus”,
karena faktor-faktor yang ada di alam diketahui oleh fisika, misalnya tinggi,volume, kecepatan,massa etc. Jika variabel-variabelnya diketahui maka outputnya bisa diketahui. Tetapi blawuritas pasti terjadi, karena tidak mungkin dan akan sangat susah untuk mengetahui semua faktor yang ada di alam dengan
presisi yang pasti. Lebih naik lagi keblawuran pada ilmu kimia, karena
itu rumus-rumusnya tidak banyak tetapi masih menggunakan matematika.
Lebih blawur lagi adalah Biologi yang sudah tidak punya rumus, karena faktor dan variabelnya amat sangat banyak. Maka yang didapat dalam biologi bukan ilmu pasti, tetapi ilmu tendensi,trend gejalanya seperti apa, maka treatmentnya seperti ini dan seterusnya. Jadi ilmu biologi dan kedokteran itu aslinya “ilmu kiro-kiro”, tetapi perkiraan yang terpelajar: educated guess. Jadi sampai ke biologi saja semakin blawur lagi sebuah kebenaran.
Blawuritas semakin ruwet dan kompleks ketika masuk ilmu sosial dan ilmu sejarah.
Anda kemarin kentut berapa kali? Pasti susah mengetahui jawaban
pastinya kecuali dengan mengira-ngira. Tetapi kebenaran pastinya tidak
bisa dikonfirmasikan. Disinilah perlunya kita masuk “konfirmasi sejarah”
dan konsistensi dari informasi yang tersisa untuk mengkonstruksi sebuah
jalan cerita sejarah. Sebenar-benarnya cerita sejarah tidak ada yang
mampu mengkonfirmasi kepastiannya, karena kentut kita kemaren saja kita
tidak punya kepastian. Apalagi persoalan Borobudur, Nabi Sulaiman, yang
sejarahnya terjadi berpuluh dan beratus tahun yang lalu.
Selanjutnya menanggapi isi buku karya Pak Fahmi Basya, Sabrang
menyoroti 40 bukti serta argumentasi yang diajukan oleh penulis untuk
membangun kesimpulan bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman.
Bukti-bukti itu adalah: satu, Plat emas di temukan di kolam istana ratu Boko, yang merupakan bukti benda, dan untuk membuktikannya perlu melihat sendiri. Dua,Istana
yang hilang diatas ketinggian seperti surga yang hilang sisa
peninggalan Nabi Sulaiman yang diidentifikasi di Candi Boko. Hal ini
didukung penemuan bahwa di sana ada stupa Borobudur yang tertinggal di
area Candi Boko. Tiga, Sepotong stupa arupadatu sebagai bukti
pemindahan, stupa yang di Boko masih jelas reliefnya yang diborobudur
tidak jelas (blawur), meskipun masih ada penjelasan dan pembuktian lainnya seperti: erosi, tertimbun batu, terjadi gesekan dll, tetapi teori itu masuk kategoripossible.
Diskusi makin gayeng manakala secara spesifik Sabrang menyoroti bukti ke-lima: mengenai arupadatu yang berbeda dengan yang ada di Borobudur dan kecepatan pemindahan Istana ratu boko ke area Borobudur ini melebihi kecepatan cahaya. Melebihi kecepatan Cahaya inilah yang membuat insting fisikawan Sabrang melek,
karena dalam Agama Fisika, asumsi ini sudah terhitung “murtad”.
Bukti-bukti ilmiah empiris menunjukkan bahwa hingga saat ini tidak ada
benda yang mampu menandingi kecepatan Cahaya. Karena dia membutuhkan
energi yang tidak terbatas. Benda sekecil elektron. tidak bisa mengikuti
kecepatan cahaya. Hanya Foton benda tak bermasa yang merupakan benda
tercepat di alam semesta, yang mendekati kecepatan cahaya.
Selanjutnya Sabrang berbicara lincah, seperti menari-narikan wacana dan teori fisika yang kaya: tentang E=MC2, Teori Kondensasi, Absolut Nol, pendinginan Zat, Gozon,Jin Nabi Sulaiman, dkk, seolah sedang makan kacang goreng, dengan begitu ringan dan santainya, yang membuat hadirin diskusi kian mlongo.
Pembacaan dengan perspektif fisika dan matematika ini
sesungguhnya masih sangat panjang dan detil, guna mengklarifikasi dan
mengkonfirmasi tiap poin bukti-bukti yang diajukan oleh Pak Fahmi Basya
dalam bukunya. Intinya 40 pembuktian yang ada dalam buku harus kita
sikapi dengan tepat. Dengan background teori Blawuritas, konstruksi
dan struktur kebenaran, kita dapat menemukan seberapa jelas dan
seberapa blawur. Jauh lebih penting adalah buku ini membuka pintu baru
bagi generasi muda untuk melakukan riset-riset mengenai peninggalan
sejarah dan warisan peradaban Nusantara yang selama ini masih minim.
“The Borobudur Code”
Anda tentu pernah mendengar wacana wilayah Sleman, yang diidentikkan dengan Nabi Sulaiman, Wanasaba dan negeri Saba’, dan Boko dengan Ratu Bilqis, dan berbagai misteri sejarah yang lain menyangkut Pulau Jawa. Benarkah itu semua?. Sebagaimana forum-forum Maiyah
yang lain, ketika malam kian melarut dan dingin, justru saat-saat
itulah suasana pergulatan fikiran dan perenungan diskusi terasa semakin
semarak dan “panas”. Atmosfer itulah yang terasa di Sewelasan,
manakala moderator meminta KH. Fahmi Basya untuk menjelaskan dan
menceritakan penelitiannya selama 33 tahun mengenai misteri Borobudur.
Sebelum mengemukakan isi bukunya, Pak Fahmi bercerita pernah
menulis Matematika Islam di tahun 1986 dan baru tahun 2004 diterima
sebagai matapelajaran di IAIN Jakarta, dan terdaftar secara
internasional. Di Matematika Islam 3, Pak Fahmi menemukan teori piramida 23,
yang jika dilihat struktur dan susunannya di Bumi itu hanya Borobudur
yang bisa mewakili piramida 23, karena itulah saat itu keluar klaim dari
beliau bahwa Borobudur ini adalah peninggalan Nabi Sulaiman. Karena di
zaman Nabi Sulaiman-lah disebutkan ada orang ahli atau berilmu kitab yang dihubungkan dengan bangunan. Hal itu menimbulkan polemik di internet, sampai akhirnya pihak penerbit buku Matematika Islam (Ufuk) meminta untuk menulis buku khusus tentang MisteriBorobudur, yang dua tahun kemudian menjadi buku: Indonesia Negeri Saba’. Diskusi Buku Sewelasan #6
Menanggapi gugatan fisika dari Sabrang MDP, Pak Fahmi mengakui bahwa
dirinya memang “murtad” dari Ilmu Fisika. Alasannya adalah: “Ketika
Rasulullah mi’raj, beliau itu
kira-kira masih berada dalam galaksi atau keluar dari galaksi? Pasti
keluar dari galaksi. Galaksi terdekat dari galaksi kita adalah galaksi Andromeda, jaraknya
2 juta tahun cahaya. Kalau Rasulullah Mi’raj melewati Andromeda dan
galaksi yang lainnya dengan menggunakan kecepatan cahaya, minimal Rasul
membutuhkan waktu 4 tahun cahaya untuk kembali ke Bumi. Tetapi tidak,
perjalanan itu ditempuh hanya dalam waktu beberapa jam waktu bumi:
“pasti Nabi Muhammad terbang dengan kecepatan yang melebihi kecepatan
cahaya, inilah alasan saya murtad dari fisika” terang Pak Fahmi.
Lalu di Matematika sendiri Pak Fahmi juga mengakui telah murtad.
Karena di matematika harus ada “rumus umum”, padahal ternyata di alam
tidak ada rumus umum, karena di alam itu rumus umum tolak ukurnya adalah
teori evolusi. Allah sendiri mengatakan: Dia menciptakan apa yang dia kehendaki. Karenanya di kimia tidak ada rumus umum. Inilah awal mula murtadnya dari matematika, dan menulis Matematika Islam.
Pak Fahmi menegaskan bahwa makin lama, makin yakin bahwa
Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman. Lebih menukik ke inti
pembicaraan, beliau membuka tabir rahasia yang menjadi penyebab awal
beliau menulis buku Misteri Borobudur. Yaitu sebuah penemuan “password rahasia” di arupadhatu Borobudur, yang tersusun dalam angka : 84517. Di
tahun 1979 zaman Soeharto, ketika password ini ditemukan, Pak Fahmi
pernah di penjara di LP Sukamiskin yang berdekatan dengan kamar tahanan
Soekarno, beliau bermimpi bertemu Soekarno yang mengangguk-angguk. Ini
satu kode gaib mengenai misteri Borobudur. Dengan password
84517 ini dapat membuka berangkas harta peninggalan masa silam yang
apabila salah putar atau keliru membukanya kemungkinan akan meledak.
Jadi menurut Pak Fahmi, kita merdeka 17 Agustus 1945, itu bukan asal
merdeka tetapi juga meninggalkan password 84517 supaya kita bisa membuka
warisan masa silam negeri kita. Inilah sebab mengapa dalam mimpi
Soekarno mengangguk-angguk. Jadi susunan 84517 memang keramat dan magis,
bukan susunan angka sembarangan, yang terkait misteri Borobudur. Maka
orang yang menyusun password ini sudah mampu meramalkan tanggal
kemerdekaan NKRI yang lebih hebat dari Joyoboyo. Angka 19 berhubungan
dengan jumlah huruf dalam Bismillah. Dari susunan angka
tersebut, dapat membuka kunci-kunci rahasia lain yang terpendam dibawah
Borobudur dan ini merupakan PR bagi kita semua pewaris bangsa Nusantara.
Dengan temuannya itu Pak Fahmi sebenarnya datang dengan membawa
PR-PR besar, untuk para hadirin guna menguak misteri yang masih panjang
dan rumit. Tentang korelasi penempatan letak Bismillah dalam Al
Qur’an dan korelasinya dengan stupa-stupa di Borobudur, hingga dititik
dimana Pak Fahmi menunjukkan penemuan makam Sulaiman di salah satu
Stupa. Temuan-temuan ini dikombinasikan dengan pernik-pernik bukti di
Borobudur, misal posisi sudut air, berat atom, dan hubungannya sebutan
“Tanah Air” yang lazim di tanah Nusantara, yang dikaitkan dengan
ayat-ayat Al Qur’an. Temuan-temuan yang disampaikan berhasil memancing
rasa kegelisahan dan rasa penasaran dari para hadirin diskusi. Kemudian
diungkapkan sedikitnya ada 9 alasan mengapa Pak Fahmi berani
menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negeri Saba’. Salah satu asumsi yang
dibangun adalah mengenai sebutan “Sultan”, atau sulthon, yang sangat familiar di sekitar area Borobudur, lalu ini dihubungkan dengan kisah Nabi Sulaiman yang mengatakan pada hud-hud: awas kalau dia datangkan kepadaku dengan sulthon yang nyata. Lebih
lanjut Pak Fahmi mengurai data-data sejarah dalam Al Qur’an yang
mengindikasikan bahwa letak negeri saba’adalah di wilayah Nusantara.
Dalam ekspedisi Borobudur ke 46 kalinya, bersama anak SMP, beliau
menceritakan kalau anak-anak sekolah sudah mempercayai bahwa Borobudur
adalah peninggalan Nabi Sulaiman, melaui video di Youtube.
Malam itu, dilengkapi dengan gambar visual dan video-video, Pak
Fahmi Basya benar-benar membawa fikiran hadirin untuk pergi menziarahi
peninggalan-peninggalan Borobudur sebagai pusaka Nusantara yang amat
kaya dan masih penuh misteri. Hadirin diajak “berjalan-jalan”
mengunjungi dan menelusuri banyak temuan-temuan purbakala diantaranya: Jabal Setumbu disekitar area Borobudur dengan awan-awan yang tawaf, Batu
dan Stupa pahatan purba di area Borobudur, Koin emas Majapahit
bertuliskan Kalimat Syahadat yang disalah pahami bertuliskan huruf Cina.
Fungsi Borobudur yang bertentangan dengan tradisi peribadatan Budha
karena di Borobudur tidak ada ruang model Vihara, Tongkat dan Makam Nabi
Sulaiman, Konsep Baldhatun Tayyibatun dengan Sorga yang diidentifikasi berada di Indonesia atau tanah Nusantara, gathuk-nya
kisah di Surat Saba’ dengan fakta kehidupan negeri Nusantara. Lanskap
kosmis peta Nusantara dan dunia yang membentuk gambar manusia bersimpuh
shalat, Hubungan Al-Ikhlas dengan Sila pertama “Ketuhanan yang Maha
Esa”, Banyaknya nama Saba’ yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara,
Negeri elok gambaran Al Qur’an yang indikatif dengan kondisi negeri
Nusantara. Sangat panjang dan luas data-data pembuktian yang dikemukakan
oleh Pak Fahmi malam itu, sehingga hadirin perlu juga menelaah dan
mencermati isi buku yang ditulisnya.
“Puing-puing Fakta dan Nilai-nilai Sejarah”
Di sesi berikutnya, Ibu Nadhrotussariroh selaku moderator yang
mengawal lalu lintas diskusi membuka termin dialog dengan peserta
diskusi. Lima tanggapan dan pertanyaan muncul dari hadirin, yang saat
itu pasti penuh rasa penasaran. Hafiz dari Semarang, menceritakan pernah
mengikuti pengajian Pak Fahmi Basya sebelumnya di Gramedia Surabaya dan
menanyakan tentang kesimpulan Pak Fahmi tentang kota Ya’juj dan Ma’juj
sebagai Yogyakarta dan Mojokerto. Hubungan jewish Yahudi dengan Jawa,
juga apakah penulisan buku ini sudah didiskusikan dengan umat Budha?
Selanjutnya dari Candra yang berangkat langsung dari daerah Boko
bertanya tentang Koin Majapahit. Apakah koin itu benar peninggalan
Majapahit ataukah benar peninggalan Cina, karena sebelum Majapahit
berdiri pernah ada pasukan Cina yang menyerang Singasari. Habib dari
Ponorogo mengkonfirmasi beberapa hal, bahwa wacana umum mengatakan
Borobudur peninggalan dinasti Syailendra, tentang Shin dalam
hadist Nabi itu adalah Syailendra, bukan Cina, tentang Java tel Aviv.
Kemudian Enji dari Serang Banten menanyakan bagaimana benturan dengan
wacana-wacana khalayak tentang sejarah Borobudur, lebih lanjut tentang
teori konsistensi, dari penelitian selama 33 tahun tersebut? Muhson dari
Giwangan, mengajukan pertanyaan: dengan bukti-bukti yang dipaparkan
apakah Borobudur itu peninggalan Nabi Sulaiman, ataukah buatan umat Nabi
Sulaiman
Berbagai pertanyaan dan tanggapan yang muncul dari jamaah diskusi
nampak mencerminkan suatu kegelisahan yang sama, yakni gugatan mengenai
fakta sejarah. Apakah semua yang diceritakan oleh Pak Fahmi benar-benar
terjadi? Dan apabila itu adalah sebuah fakta sejarah, bagaimana cara
untuk mendamaikan temuan ini dengan wacana-wacana dan cerita sejarah
yang telah mapan dipercaya banyak orang, terutama dari kalangan agama
lain yang mengakuisisi Borobudur sebagai bagian dari kepercayaan
Agamanya?. Menjawab poin letak daerah Ya’juja dan Ma’juja Pak
Fahmi tidak memastikan kebenaran dari temuannya. Hanya saja ada
fakta-fakta yang indikatif yang mengarah bahwa Ya’juj adalah Yogyakarta
dan Ma’juj adalah Mojokerto. Karena “karta” berarti kota, berarti
Yogjakarta adalah kota Yogja yang identik dengan Ya’juja, dan Mojokerto
adalah kota Mojo yang kemungkinan adalah kota Ma’juja. Juga dari
cerita-cerita sejarah, dan bukti-bukti adanya pakubumi di bukit Tidar.
Pak Fahmi melanjutkan dengan memaparkan bahwa sebenarnya ada banyak
cerita rakyat di Nusantara, tetapi sayangnya tidak dengan bahasa Sains, sehingga sulit dijadikan pembuktian. Kemudian mengenai Arsy ratu Boko sesuai laporan Hud-hud,
yang indikatif dengan tempat penyembahan yang ada di Kompleks Candi
Boko yang dipindah ke lokasi Borobudur. Tentang koin majapahit itu sudah
disahkan sebagai koin kerajaan Majapahit karena ada cap lambang garuda
ditengah koin.
Selanjutnya dalam pemaparannya, Pak Fahmi menceritakan
kisah-kisah yang apabila tak cermat menyimak dan mendengarnya sekilas,
nampak seolah kisah-kisah yang tak berhubungan. Beliau mengutarakan
Hubungan Nabi Daud-Syailendra (“syaila-Indera”) itu artinya adalah Raja
Gunung, dan ini berarti adalah Nabi Daud. Selanjutnya beliau memaparkan
kronologis kisah mengenai “Arsyil Adzim” kerajaan yang menjulang tinggi
keatas yang diucapkan oleh burung hud-hud. Kemudian potret kisah Ketika
Nabi Musa mendapat wahyu untuk memukulkan tongkatnya ke laut maka
terjadilah jurang yang dalam. Hingga Nabi Musa mengajak rakyat masuk
negeri “Ardhol Muqaddas” bumi yang
suci, kemudian tentang Nabi Daud dan Bani Israil dan berbagai kisah lain
yang panjang sebagai bukti bahwa Kerajaan Sulaiman ada di area pulau
Jawa. Diskusi Buku Sewelasan #6
Ikut menambahkan dan menjawab pertanyaan mengenai asal-usul bangsa
Jawa, Sabrang MDP mengungkap misteri asal-usul Siti Hajar yang akhirnya
ditemukan bahwa nama Siti Hajar cocok dengan peradaban dan kebudayaan di
Jawa. Apakah semua itu benar? Jawabnya adalah tetap “blawur”, karena
kita tidak bisa mengkonfirmasi fakta sejarah yang terputus, sehingga
kebenarannya juga tergantung “perkiraan” serta konsistensi informasi dan
teori yang ada. Kemudian tentang asal muasal bangsa Jawa yang sering
diwacanakan Cak Nun, Sabrang mengaku tidak terlalu paham juga dengan
detil-detil argumentasinya. Yang menarik adalah urusan konsistensi,
misalnya tentang dinasti syailendra dan hubungannya dengan Nabi Daud
maka itu pasti sebelum Nabi Isa dan itu pasti terjadi sebelum masehi.
Khusus mengenai password “84517”, Sabrang memperkirakan betapa
ampuh dan saktinya orang yang menyusun password tersebut karena mampu
meramalkan secara persis tahun kemerdekaan Indonesia. Itu berarti orang
ini mengerti persis tentang asal mula Masehi, tahu bahwa dalam
perjalanan masehi itu ditambahi dua bulan yakni Juli-Agustus, harus tahu
juga ada 10 hari yang dihilangkan dalam perjalanannya. Andaikan itu
benar karya Soekarno berarti Soekarno mengerti kebenaran sejarah yang
sesungguhnya, mengapa beliau menyimpannya sebagai Rahasia? Ini yang aneh
dan ganjil yang perlu diuji konsistensinya. Tentang tulisan Cina dan
Arab di Zaman Nabi Sulaiman, ini menimbulkan kecurigaan baru, bagaimana
mungkin tulisan Cina dan Arab menjadi tulisan yang populer di Jawa?
Padahal perkembangan bahasa Arab pun sangat dinamis.
“Semua data tentang Borobudur dan Nabi Sulaiman adalah hal
menarik dan menggairahkan, namun kita juga perlu menghitung dan mengatur
konsistensinya. Inilah PR kita semua. Dan untuk membuat sebuah
konstruksi sejarah baru, yang mampu melawan sejarah mainstream harus
mempunyai kejelasan dan kekonsistenan yang tidak kalah dengan konstruksi
sejarah yang ada. Teori konsistensi ini yang penting untuk kita uji
terus menerus, karena untuk membangun sejarah Nabi Sulaiman tidak bisa
dilakukan sepotong-sepotong, harus dengan view yang selengkap mungkin.” tutup Sabrang.
Menjelang tengah malam, moderator menutup diskusi dengan mengajak
para peserta diskusi untuk melanjutkan kerja penelitian yang masih
panjang ini. Dari diskusi Sewelasan malam itu pasti ada sekian banyak file-file wacana
yang akan menghuni alam fikiran hadirin yang datang. Memang bukan
“kepastian mutlak” atau faktualitas yang akan diperdebatkan dari isi
buku tersebut, apalagi buku ini mengkaji sejarah dan peradaban manusia
masa silam. Sampai kapanpun tak akan kita peroleh data yangfixed dan “pasti benar” mengenai situasi sejarah yang telah terjadi di era yang sekian lama berlalu.
Perpustakaan EAN menyelenggarakan Diskusi Buku rutin setiap
bulan, selain menciptakan tradisi kebaikan mendiskusikan buku juga
membudayakan Diskusi Buku ditengah maraknya E-Book, juga berkurangnya
minat membaca buku dan kunjungan keberbagai perpustakaan.
Ke #6 edisi Diskusi Buku yang telah terselenggara lebih merupakan pintu pembuka, dan
“benih” awal dari tanaman ilmu pengetahuan yang memerlukan telaah yang
sangat panjang. Sepeti halnya diskusi malam itu, sebungkus oleh-oleh
penting dari sebuah kajian sejarah Borobudur, memang bukan terutama
kebenaran pasti dari sebuah kejadian masa silam, melainkan “Ibrah” , values,
nilai luhur sejarah, dari kebesaran dan kejayaan Nusantara. Setidaknya
itu yang dapat dibawa pulang sebagai bahan belajar dan renungan, di
tengah padatnya lalu lintas kehidupan. (Ahmad F. Hakim, RPK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar